AL-KHAUF DAN AL-RAJA' MENURUT
AL-GHAZALI
1.
Pendahuluan
Berbagai macam ummat Islam
dalam hidupnya untuk selalu menyakini Allah itu selalu di hatinya di dalam
kehiupan sehari-harinya dan mengakui ke Esa an Allah sebagai Kholiq yang patut
disembah oleh makhluk-Nya.
Dalam Mendekatkan diri kepada Tuhan merupakan tema sentral dalam
tasawuf. Untuk berada dekat pada Tuhan,
seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi stasion-stasion yang
disebut maqamat. Ibn Taimiyyah menjelaskan berbagai istilah yang
dipergunakan oleh kaum sufi tentang jalan kepada Tuhan yang dalam istilah
tasawuf dinamakan al-ahwal dan al-moqamat.[2]
Al-khauf (takut), al-tawadlu (rendah hati), al-taqwa
(patuh), al-ikhlash (ikhlas), al-ins (rasa berteman), al-wij
(gembira), al-Syukr (syukur) adalah pekerjaan-pekerjaan hati yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kaum sufi .[3]
Seorang sufi digambarkan seperti pengembara (salik) yang menempuh
perjalanan panjang dan penuh dengan berbagai kesulitan. Jalan yang harus dilalui
oleh seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu
sulit, dan untuk pindah dari satu stasion ke satu stasion, itu menghendaki
usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat. Terkadang
seorang calon sufi harus bertahun-tahun tinggal dalam satu stasion.[4]
Al-Ghazali menuliskan tema yang disebutnya sebagai seperempat keselamatan (rubu
aL-munjiyat) dalam karya monumentalnya, ihya' ulum al-din yang
berisikan jalan-jalan keselamatan yang ditulisnya secara berturut-turut : al-taubah
(taubat), al-shabr (sabar) dan al-syukr (syukur), al-khauf
(takut) dan al-raja' (mengharap), al-taqwa (patuh) dan al-zuhd
(zuhud). [5]
Tulisan ini dengan bahan-bahan yang terbatas mencoba mengangkat tema ai-khawf
(takut) dan al-raj'a' (mengharap) menurut al-Ghazali.
2.
Hakikat Al-Khawf
Dalam pandangan
al-Ghazali, al-khauf (takut) adalah ungkapan derita hati dan kegelisahan
yang disebabkan terjadinya sesuatu yang dibenci Tuhan yang mungkin terjadi pada
seseorang di masa yang akan datang. Bagi orang yang dekat kepada Allah dan
memiliki kebenaran (al-haq) dalam hatinya, pada waktu yang bersamaan ia
menyaksikan (musyahid) kein-dahan kebenaran selamanya tanpa harus
menoleh ke masa men-datang. Orang seperti ini tidak lagi memiliki khawf dan
tidak pula perlu berharap (raja’), bahkan ia berada dalam hal yang
lebih tinggi dari alkhawf dan al-raja'.[6]
Al-khauf juga terdapat di dalamnya 'ilm, hal dan
'amal. Mengenai 'ilm yang menjadi bagian dari khawf di sini maksudnya
adalah ilmu atau pengetahuan tentang upaya-upaya menghindari sesuatu yang dibenci Tuhan. Perumpamaan ilmu di
sini tidak ubahnya seperti seseorang yang dititipkan sesuatu kemudian ia takut
kalau-kalau titipan itu rusak. Kegelisahan hati orang seperti ini dipicu oleh
pengetahuannya akan berbagai sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada
"titipan" itu. Bila itu terjadi, maka pemilik titipan itu pun akan
marah, tidak senang atau bahkan menjadi dendam. Disini, maka ilmu yang dimaksud
adalah jelas sebagai sebab dari rasa takut (al-khauf) dan kegelisahan
hati yang kuat. Begitu juga dengan apa yang dapat membakar, mengetahui ('ilm) sebab-sebab yang dapat menimbulkan
kebakaran juga menimbulkan rasa takut (al-khauf). Kebakaran pada contoh ini tidak lain adalah rasa takut itu sendiri [7].
Takut kepada Allah Swt. terkadang dikarenakan adanya pengetahuan tentang
Allah dan sifat-sifatNya. Seandainya la berkehendak memusnahkan alam ini tidak
satu pun yang dapat mencegahNya. Pada kali yang lain, takut dapat dikarenakan
banyaknya perilaku maksiat
Seorang hamba, dan dapat pula dikarenakan oleh kedua-duanya sekaligus. Berdasarkan
pengetahuan akan keagungan Allah Swt. Yang "Dia tidak ditanya tentang apa
yang diperbuatNya dan merekalah yang
akan ditanyai", [8] seseorang akan bertambah kuat rasa takutnya. Sepaling takut manusia kepada
Tuhannya adalah sepaling tahu manusia atas diri dan Tuhannya. Begitu juga
dengan sabda Nabi, "aku adalah sepaling
takut manusia kepada Allah" [9], dan
firman Allah Swt, "sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara
hamba-hambaNya, hanyalah ulama". [10]
Al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan, bila telah sempurna pengetahuan
seseorang kelak akan memunculkan rasa takut (al-khauf) dan kegelisahan
hati. Kemudian kegelisahan itu akan memenuhi relung hatinya dan pada akhirnya
mempengaruhi fisik, kepiluan dan sejumlah sifat yang akan muncul berikutnya.
Takut yang mempengaruhi fisik akan menjadikan kelayuan, kepiluan dan tangisan.
Takut yang mempengaruhi kepiluan akan menghentikan
seseorang dari segala bentuk kemaksiatan dan mengisi diri dengan ketaatan,
menyesali yang telah terjadi di masa lalu dan mempersiapkan diri untuk masa
yang akan datang. "Orang yang takut bukanlah orang yang menangis dan
menghapus air matanya, tetapi orang yang takut adalah orang yang meninggalkan
apa yang ia takutkan yang kemungkinan kelak akan menimpa dirinya".[11]
Dan "siapa yang takut terhadap sesuatu, ia lari darinya. Orang yang takut
kepada Allah, justeru akan mendekat kepada-Nya". [12]
Takut yang mempengaruhi sifat seseorang akan menjadikan seseorang menahan
hawa nafsu dan mengurangi berbagai kelezatan duniawi. Pada akhirnya, berbagai
bentuk kemaksiatan yang semula disenanginya akan berubah menjadi kebencian
terhadap segala macam bentuk kemaksiatan. Ini tidak ubahnya seperti seseorang
yang tidak mau meminum madu manakala ia tahu bila di dalamnya terdapat racun
yang membahayakan. Dengan demikian, maka terbakarlah segala bentuk hawa nafsu
dengan rasa takut (al-khauf) dan
menjadikan hati tunduk, khusyu', tenteram, menjauh dari kesombongan dan
kedengkian, bahkan menjadikan seseorang, dengan rasa takutnya itu, melihat pada
akibat-akibat buruk dari prilaku-prilaku yang tidak terpuji serta menjadikannya
tidak menoleh kepada yang lain dan tidak ada kesibukan kecuali dengan evaluasi
dan instrospeksi diri dan pada akhirnya, lahir dan batin disibukkan dengan rasa
takutnya. Kondisi ini (hal) adalah keadaan dimana seseorang telah
dipenuhi dan dikuasai oleh rasa takutnya itu.[13]
Dalam pembicaraan al-Ghazali mengenai al-khauf berikutnya ia
menjelaskan tidak semua rasa takut itu terpuji dan semakin banyak rasa takut
seseorang itu baik. Anggapan seperti ini ditegaskan al-Ghazali sebagai
kekeliruan. Al-khauf yang sesungguhnya adalah "cambuk Allah"
yang menggiring hamba-Nya untuk bergiat diri dalam ilmu dan amal guna menggapai
kede-katan kepadaNya. Bagi al-Ghazali rasa takut yang terpuji adalah yang
pertengahan (al-‘itidal wa al wasth
). Rasa takut yang berlebihan dan melewati batas-batas pertengahan
akan menimbulkan penyesalan. Rasa takut seperti ini
tercela sebab kondisi seperti ini boleh jadi akan menghalangi amal.[14] Yang dimaksud al-khauf sebenarnya
adalah "cambuk", sesuatu yang mendorong untuk beramal yang tanpa itu,
maka al-khauf pun tidak akan sempurna keberadaannya.
Keutamaan al-khauf bagi al-Ghazali dapat diketahui baik melalui perenungan
(al-taammul wa al-‘Itibar) maupun melalui ayat-ayat al-Qur'an dan
hadits. Melalui perenungan, akan ditemukan bahwa
kebahagiaan yang sesungguhnya adalah perjumpaan dengan Allah Swt: di akhirat
kelak. Jadi tidak ada tujuan lain kecuali kebahagiaan itu sendiri dan tidak ada
kebahagiaan seorang hamba selain perjumpaan-nya dengan Allah dan kedekatan
kepadaNya. Karenanya, apa pun yang dapat menyampaikannya kepada tujuan itu maka
dianggap sebagai keutamaan. Jelas sekali menurut al-Ghazali bahwa kebahagiaan
berjumpa dengan Allah di akhirat kelak tidak dapat dicapai kecuali dengan jalan
mencintai-Nya (mahabbah) dan ingat (al-zikr) yang terus-menerus. Bergiat
diri dalam mengingat dan berpikir tentang keagungan Tuhan tidak dapat dicapai
kecuali dengan memutuskan kecintaan dunia dari hati. Seseorang
tidak dapat memutuskan kecintaan
dunia dari hatinya kecuali dengan me-ninggalkan kelezatan dan hawa nafsu
duniawi, dan tidak mungkin meninggalkan yang disenangi kecuali dengan mengekang
hawa nafsu. Hawa nafsu tidak akan pernah padam kecuali dengan api al-khawf.
Dengan demikian, maka al-khauf adalah api yang membakar syahwat dan
keutamaannya terletak pada kemampuannya membakar syahwat dan menahan dari
segala bentuk kemaksiatan dan menggalakkan untuk patuh kepada Allah Swt.[15]
Melalui ayat-ayat al-Qur'an dan hadits banyak ditemukan yang berkaitan
dengan keutamaan al-khawf. Setiap ayat yang menjelaskan tentang
keutamaan ilmu, pada waktu yang bersamaan juga menjelaskan keutamaan al-khawf.
Sebab al-khauf adalah buah dari ilmu. Tentang keutamaan al-khauf dalam
al-Qur'an, Allah Swt. Berfirman :
Petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.[16]
Sesungguhn;ya yang takut kepada
Allah diantara hamba-hambaNya,
Allah ridha terhadap mereka dan
mereka pun ridha kepadaNya. Yang
Tentang keutamaan al-kahwf dalam
hadits, Nabi pernah bersabda:
Sepaling sempuma akal kamu sekalian adalah orang yang
paling (sangat) takut kepada Allah dan paling baik dari kamu sekalian adalah
orang yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
laranganNya [21].
Ajaran al-Ghazali tentang al-khauf yang telah
diuraikan tersebut pada dasarnya mengajak orang untuk banyak mengingat akan
Allah Swt. serta menjalankan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Namun
itu semua tidak akan sempurna manakala tidak diiringi dengan ilmu. Hal ini ia
pertegas pula bahwa al-khauf adalah buah dari ilmu. Dengan ilmu orang akan
mengenal Allah dan mencintaiNya.
3.
Hakikat Al-Raja'
Al-raja' [22]
(mengharap) menurut al-Ghazali adalah sebagian
dari maqamat para salikin dan ahwal orang-orang yang dalam pencarian
untuk dekat dengan Tuhan. Hakikat dari mengharap (al-raja') dilengkapi pula dengan hal, ilm dan amal. ilm sebagai
sebab yang dapat menimbulkan hal, dan hal memerlukan adanya amal. Sedang al-raja' adalah nama dari ketiganya.
Berharap merupakan sesu baik dri padatu yang lebih baik
daripada merasa takut, Hal itu karena hamba yang paling dekat dengan Allah swt,
adalah hamba yang dicintainya[23]
Penjelasannya adalah apa saja yang dijumpai oleh
seseorang tidak terlepas dari "dibenci" dan "dicintai". Kedua
kondisi ini keberadaannya ada pada saat sekarang, masa lalu dan masa yang akan
datang. Bila terdetik dalam hati seseorang tentang maujud hari ini dinamakan idrak (penge-tahuan) Bila terdetik dalam
hati seseorang tentang maujud sesuatu di masa lalu dinamakan zikr
(ingatan), dan bila terdetik dalam hati seseorang tentang maujud1 di
masa mendatang disebut intizhar (penantian). Lalu bila yang dinanti
adalah sesuatu yang dibenci, maka yang terjadi adalah luka dalam hati yang
dinamakan khauf. Dan bila yang ditunggu adalah sesuatu yang dicintai,
maka yang terjadi adalah penantian yang menambat hati dengan berbagai
kesenangan dan kelapangan (al-irtiyah). Kelapangan inilah yang dinamakan al-raja'.[24]
Dengan demikian, al-raja' adalah kelapangan atau terbuka lebamya hati dalam menantikan sesuatu yang dicintainya. Namun begitu, sesuatu yang dinanti dan dicintai itu adalah suatu "keharusan", nyata adanya dan perlu adanya berbagai upaya. Maka apabila penantian itu tidak didasari atas sejumlah
upaya tertentu, atau bahkan upaya itu bertolak
belakang dengan penantian itu, itu tidak
ubahnya dengan fatamorgana. Untuk hal yang kedua ini, kata al-Ghazali "kedunguan lebih tepat sebutannya ketimbang al-raja’. Pengertian al-raja' yang sesungguhnya adalah penantian atas sesuatu yang dicintai dengan mengerahkan segenap upaya seorang
hamba. Seorang hamba, yang menanam benih iman
lalu disirami dengan air ketaatan, mensucikan hati dari segala prilaku
tercela, kemudian menanti keutamaan Allah Swt.
Untuk menetapkannya agar mati dalam keadaan baik (husnu al-khotimah) serta berlimpah ampunanNya. Penantian
seperti ini adalah raja' yang
sesungguhnya dan dibangkitkan dengan kegigihan dan upaya-upaya iman dan ampunan menuju kematian. Penantian
tanpa benih keimanan dan siraman air ketaatan kepada Allah serta hati yang
masih lekat dengan perilaku tercela serta kenikmatan duniawi, maka penantian
serupa ini tidak lebih hanyalah kedunguan dan fatamorgana. [25]
Sabda Nabi:
Orang yang dungu adalah orang yang menuruti hawa
nafsunya dan berharap akan surga Allah [26].
Firman Allah Swt.:
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek)
yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya,
maka mereka kelak akan menemui kesesatan.[27]
Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi
al-Kitab, yang mengam-bil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata:
"Kami akan diberi ampunan" [28]
Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya
aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang
lebih baik daripada kebun-kebun itu.[29]
Penjelasan al-Ghazali berikutnya adalah hakikat al-raja' diketahui
sebagai hal yang dihasilkan oleh ilmu yang keduanya berjalan bila didahului
oleh upaya-upaya yang tidak sedikit. Hal al-raja' dapat dicapai manakala ada
kesungguhan upaya yang ada. Katanya, "bila benihnya baik, tanahnya subur
dan airnya cukup, maka benarlah harapnya (al-raja').
Dan katanya lagi, "mengharap (al-raja')
itu terpuji karena membangun rasa optimis dan putus asa itu tercela karena
menghalangi amal’. Sedang khauf adalah pasangan dari raja'. [30]
Sepaling dekat kepada Allah orang yang paling mencitaiNya Cinta membutuhkan
harapan (al-raja1).
Al-raja' datang bersama adanya sangkaan baik (husnu al-zhan), terlebih
lagi disaat menjelang kematian. [31]Banyak
ayat al-Qur'an dan hadits yang menjelaskan al-raja', serta kisah-kisah yang
mengetengahkan pertalian antara al-raja' dengan seorang hamba.
Dengan mengutip sejumlah ayat dan hadits, al-Ghazali menjelaskan
keutamaan al-raja'. Takut kepada Tuhan (khauf) berdampingan dengan
harapan dan penantian (raja1), sehingga mengandung pengertian bahwa al-khauf dan al-raja' adalah dua
perkara yang tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan upaya-upaya
untuk mendekati Tuhan, sebagai Zat Yang diharap-harap dalam penantian, Zat Yang
diharapkan adalah sesuatu yang dicintai seorang hamba menuju kebahagiaan yang
tiada akhir.
4.
Penutup
Al-khauf dan al-raja' menurut
al-Ghazali digambarkan sebagai dua sayap yang memungkinkan seorang salik untuk
terbang ke maqam yang terpuji. Tanpa ada keduanya, maka akan berakibat
pada terputusnya jalan-jalan akhirat dan jauh dari harapan serta tidak adanya
kemampuan menutup pintu neraka dan siksa yang pedih. Penangkal dari itu semua
tidak lain adalah al-khauf dan al-raja .
CATATAN
AKHIR
[1] A. Wahib Mu'thi, "Pekerjaan-Pekerjaan
Hati" Menurut Ibn Taimiyyah, dalam Ulumul Qur'an, Nomor 1, Vol. V,
Th. 1994, h. 70. Istilah maqamat mempunyai pengertian yang berbeda dari istilah
ahwal. Maqamat jamak dari maqam dapat diartikan sebagai
tahapan-tahapan yang ditempuh oleh sufi melalui usaha. Sedangkan ahwal, jamak
dari hal, ialah keadaan haci yang dialami oleh sufi sebagai karunia yang
datang dari Tuhan. Untuk detailnya lihat A. Wahib Mu'thi, ibid, mengutip dari
Abu Nasr Al-Sarraj, Kitab Al-Luma'. Sementara itu, al-Ghazali menuliskan
bahwa dinamakan maqam bila keberadaannya tetap dan diam (tsabata wa aqama), sedangkan
dinamakan hal karena keberadaannya cepat hilang (sari1 al-zawal),
sesuatu yang tidak tetap dalam hati. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali, Ihya Ulum Ad-Din, Beirut: Dar Al-Fikir, nd, Jilid. Ke-lV, h.
142., selanjutnya disebut al-Ghazali.
29 Al-Ghazali, op.cit., h.
144 -Al-Ghazali mengumpamakan benih yang
baik, tanah yang subur dan air yang cukup sebagai upaya dan ikhtiar, sedang
menuai hasil diumpamakannya sebagai raja .
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad, Ihya Ulum Al-Din Beirut, Dar Al-Fikr, nd
Al-Taftazani, Abu Al-Wafa'
Al-Ghanimi, Sufi Dari Zaman Ke zaman, Penerjemah, Ahmad Rofi' Utsmani,
Bandung, Pustaka, 1985, Get. Ke-1
Al-Hasani, Ahmad bin
Muhammad bin Ajibah AI-Himam Fi Syarh Al-Hikam Ibn 'Atha'
Al-Sakandari, Beirut, Dar Al-Fikr, nd
Al-Nasyar, Ali Sami, Nasy'ah
Al-Fikr Al-Falsafi fi Al-Islam, Dar Al-Ma'arif, 1969, Get. Ke-4
'Arjun, Muhammad
Al-Shadiq, AI-Tashwwuf fi Al-islam Manabi'uh wa Athwaruh, Maktabah
Al-Kulliyyat Al-Azhariyyah, 1967
'Amidah, Abdurrahman, Al-Tashawwuf
Al-Islami Manhajan wa Sulukan. Maktabah Al-Kulliyyat Al-Azhariyyah, 1967
Al-Qasimi, Muhammad
Jamaluddin, Mau'izhah Af-Mu'minin min Ihya Ulum Al-Din, Dar
Al-'Ahd Al-Jadid, nd
Al-Thusi, Abu Nasr Sarraj,
AI-Luma', Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1960
Hilal, Ibrahim, Tasawuf
Antara Agama dan Filsafat Sebuah Kritik Metodologis, Bandung, Pustaka
Hidayah, 2002
Imam Gazali, Ihya Ulumudin : Darus Salam : Kairo,
2010
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta,
Bulan Bintang, 1990, Get. Ke-7
---------------------, "Tasawuf", Dalam Budhy Munawar-Rachman
(ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta, Yayasan
Paramadina, 1994
Mu'thi, A. Wahib, "Pekerjaan-Pekerjaan Hati Menurut
Ibn Taimiyyah, Dalam Ulumul Qur'an, Nomor 1, Vol. V, Th. 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar